Buku ini berkisah tentang romansa Ir. Soekarno dengan Ibu Inggit. Dikemas apik dengan bahasa yang santun juga bernilai sastra yang tinggi. Maklumlah sang penulis sendiri adalah Ramadhan KH, sastrawan sekaligus penulis biografi terbaik di tanah air ini.
Dikisahkan tokoh Ibu Inggit adalah perempuan yang hebat. Perempuan yang luar biasa karena
sifat dan tindakannya, dan aku tidak pernah tahu ini sebelumnya.
Cinta memang begitu misteri, begitupun kehidupan. Kita tidak dapat
menerka apa yang terjadi pada kehidupan kita yang akan datang,
barangkali itu gambaran kisah cinta Inggit dan Sukarno. Sukarno yang
pada waktu itu merupakan menantu dari HOS Tjokroaminoto yang berniat ke
Bandung untuk melanjutkan sekolah di THS –ITB sekarang, mungkin tidak
akan membayangkan kalo akhirnya dia akan menikahi Inggit sang induk
semang, demikian pula Inggit yang telah bersuamikan Sanusi, tentu tidak
berpikir untuk “selingkuh” kemudian menikah dengan Sukarno yang usianya
terpaut jauh. Tapi begitulah hidup, terkadang kehidupan memberi kita
pilihan yang sulit, memberi kejutan-kejutan yang tak pernah kita
bayangkan, kadang pilihan yang kita ambil akan menimbulkan reaksi
negative dari orang lain yang hanya melihat sesuatu dari sisi luar saja
(mungkin begitu juga terhadap Inggit dan Sukarno), tapi hidup harus
senantiasa berjalan, dan kita harus berusaha untuk istiqomah sesulit
apapun resiko yang akan terjadi. Kekuatan, ketegaran, ketabahan dan
cinta Inggit mendampingi Sukarno dalam masa sulit (masa-masa pembuangan
dan penjara) telah memberi banyak inspirasi bagi kaum perempuan, Inggit
memberikan peran terbaiknya sebagai istri, sebagai pendamping dalam
setiap kegiatan politik Soekarno.
Inggit adalah sosok perempuan yang luar biasa, dia bukan hanya
sebagai kekasih, tetapi juga sebagai kawan dan ibu dari Sukarno
(seperti yang diceritakan dalam buku). Tak banyak perempuan hebat
semacam itu, barangkali tanpa Inggit, Sukarno takkan sehebat itu,
seperti kata pepatah, laki-laki (suami) yang hebat (berhasil) adalah
karena memiliki perempuan yang super (kuat, tegar, sabar), pun demikian
ketika Sukarno memutuskan untuk menikah dengan Fatmawati, setelah kurang
lebih 19 atau 20 tahun mereka menikah, Inggit memilih untuk bercerai,
tidak bersedia untuk di madu, padahal jika saja Inggit mau tetap menjadi
istri pertama Sukarno, Inggit memiliki kesempatan untuk menjadi Ibu
Negara yang peranannya tentu akan lebih dihargai dan dihormati, bukan
menjadi perempuan yang biasa yang “dilupakan”, disitulah aku menemukan
Inggit sebagai sosok perempuan yang kuat, perempuan yang mampu berdaulat
atas dirinya sendiri, perempuan yang memiliki prinsip dan sikap.
Bagi yang ingin membaca romansa Soekarno dan Ibu Inggit, buku Kuantar ke Gerbang terbitan Bentang Pustaka Yogyakarta (dulu pernah diterbitkan oleh Sinar Harapan) ini sudah ada di rak Rumah Buku Langit Timur atau kalian masih bisa mendapatkannya di toko buku langganan anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar