Senin, 16 Juli 2012

Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan

EKA Kurniawan, adalah pengarang yang begitu fenomenal, meski tidak jebolan dari mahasiswa Sastra tetapi banyak melahirkan buku-buku yang luar biasa. Eka Kurniawan tampaknya sungguh-sungguh ingin menjadi seorang sastrawan dengan memperkaya referensi bacaan hingga menghasilkan karya-karya yang kaya warna. 
Setelah menerbitkan kumpulan cerpen dalam antologi Corat-coret di Toilet (1999), alumnus Fakultas Filsafat UGM ini tampaknya tak mau kepalang tanggung dengan merilis sebuah novel yang berjudul Cantik Itu Luka ini, begitu diluncurkan ke pasaran, tak berlebihan kalau membuat kalangan sastra sempat tercengang, kagum, dan bahkan hampir tak percaya.
Dari sampul buku sendiri sudah sebegitu menarik perhatian pembaca untuk mengambilnya begitu melihat kesan sekilas bila ditata di etalase rak di sebuah toko buku bila disandingkan dengan buku-buku yang lain. Design sungguh luar biasa dan menumbuhkan keingintahuan para khalayak untuk membacanya. Itu baru penampilan secara fisik, begitu menyimak dan mulai membaca sampul belakang ada kesan lain bahwa novel ini memang benar-benar berbobot dan fenomenal.
Bagaimana tidak? Novel Cantik Itu Luka dengan tebal 517 halaman bisa dikatakan telah mencatat rekor baru dalam sejarah perjalanan novel Indonesia sebagai novel paling tebal yang dihasilkan sebagai karya perdana. Selain itu, lewat novel ini pengarang juga telah melakukan inovasi baru berkaitan dengan model estetika serta gaya penceritaan sebagai satu bentuk pemberontakan atas mainstream umum. Dalam hal ini juga bahwa Eka Kurniawan menulis novel ini dengan lugas, lancar dan terkadang dengan sense of humor yang tinggi. Bahkan, dengan cukup realis, pembaca dibawa memasuki sejarah bangsa dengan berbagai peristiwa penting yang pernah terjadi, sebuah potret buram sejarah Indonesia dari masa kolonialisme Jepang hingga pemberontakan PKI.
Lewat novel ini, Eka dengan cukup cerdas dan cerdik mengisahkan nasib anak manusia, Dewi Ayu dalam gelombang sejarah bangsa. Ia telah menjadi korban kekuasaan dan kutukan karma. Bermodalkan kecantikannya, nasib rupanya tidak berpihak secara cantik pula. Ia lebih banyak dikonsumsi oleh tentara Jepang sebagai regulasi dari kemenangannya atas bangsa Belanda pada waktu itu dan ia baru bebas ketika Indonesia dinyatakan merdeka pada tahun 1945.
Meski sudah merdeka, kehidupan buram yang dilakoninya sebagai pelacur ternyata tak juga urung diakhiri. Ia masih melanjutkan kariernya sebagai penjaja tubuh di kota kelahirannya, Halimunda. Bahkan, berkat kecantikannya yang tak tertandingi, ia jadi pelacur idola yang diburu setiap lelaki hidung belang. Selama bertahun-tahun, karier itu dijalaninya hingga ia punya tiga anak gadis. Semua berwajah cantik. Akan tetapi, kecantikan ketiga anak itu tak ubahnya sebuah pisau bermata ganda. Pada satu sisi merupakan anugerah, pada sisi yang lain kehadiran tiga gadis cantik itu sebuah petaka. Sehingga, akibat kutukan dan dosa yang ditanggung Dewi Ayu, ketiga anaknya jadi janda semua. Suami-suami mereka mati mengenaskan.
Untuk itu, tatkala ia mengandung anaknya yang keempat, ia berharap anak itu akan lahir buruk rupa. Tapi, anehnya, ia malah menamai anak keempatnya itu dengan si Cantik. Dia juga bersyukur karena banyak orang mencemooh kondisi anaknya yang wajahnya mirip monster itu. Karena dengan cemoohan itu diharapkan bisa menghilangkan kutukan yang diterimanya selama ini.
Meski buruk muka, si Cantik justru dicintai Krisan, yang tak lain keponakannya sendiri. Bagi Krisan --yang pernah patah hati--, cantik itu ternyata tak lebih sebuah luka. Sehingga tak ada bedanya mencintai si buruk atau si cantik.
Membaca novel ini, kita diajak oleh Eka Kurniawan untuk mengembara tentang presisi dari kata kecantikan itu sendiri, bahwa ternyata pada kenyataannya meski semua orang mendambakan dirinya cantik tetapi ada hal yang lebih didambakan lagi dalam kehidupan ini, yakni sebuah keberuntungan.
Selamat membaca novel fonomenal dari sastrawan muda kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar