Aku tak pernah ingin menyerah
Tapi masihkah berarti kalau kalah?
Waktu menyiram tubuh
Darahpun menjadi putih
Aku tahu saat untuk pasrah
meski jauh di dalam tanah
kulambai dirimu dengan pedih.
(Kulambai dirimu, 14 Januari 1996)
KRITIK terhadap penguasa bisa disampaikan melalui apa saja. Bagi
seniman tentu melalui karya-karyanya. Salah satunya Seno Gumira
Ajidarma. Sebagai cerpenis, novelis sekaligus jurnalis, Seno
menyampaikan kritik tajamnya kepada penguasa melalui tulisan-tulisannya.
Balutan kalimat Seno dengan bahasa yang lugas selalu bisa diikuti
pembaca dengan enak, meski ujung-ujungnya mengajak pembaca ke sebuah
kisah suram. Seperti meninggalnya seseorang dengan tidak wajar, kondisi sosial
yang mengenaskan serta pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara.
Cerpen-cerpen yang dihasilkan Seno mengukuhkan dia sebagai oposan
bagi penguasa Orde Baru. Ia mulai mengkritisi Orba sejak
1980-an. Cerpen-cerpen Seno memang menyuarakan perlawanan, dan
menentang budaya Orba. Jauh sebelum kejatuhan rezim Soeharto, Seno
menuliskan hal-hal yang tabu untuk ditulis pada masa itu, seperti
tema-tema yang mengangkat persoalan ras, suku, korupsi, ketamakan
manusia, kebohongan, penindasan manusia atas lainnya, serta perbedaan
kelas.
Meskipun karya-karya sastra yang mengkritisi arogansi dan dominasi
penguasa sebenarnya tidak hanya ditulis Seno. Sejumlah sastrawan juga
melakukan hal serupa. Kita bisa menyebut nama-nama seperti Pramoedya
Ananta Toer, penyair Wiji Thukul, Emha Ainun Nadjib, Y.B Mangunwijaya,
Putu Wijaya. Mereka punya cara masing-masing untuk menyampaikan
kritiknya. Dan karya-karya Seno menduduki salah satu titik penting dalam
khasanah sastra yang menggugat politik kekuasaan.
Cerpen Telepon dari Aceh, Saksi Mata, Jakarta 2039, Seorang Wanita di Halte Bis, juga Sarman hanyalah
sedikit dari banyaknya karya-karya Seno yang bersikap kritis terhadap
realitas Orde Baru yang begitu mendominasi dan mengakar sekaligus
menebar ketakutan. Ia mengajak pembaca untuk menyaksikan peristiwa itu
sambil mendorongnya untuk melakukan refleksi terhadap
itu. Peristiwa-peristiwa dalam cerpennya mampu membuka hati dan pikiran
pembaca untuk menyadari bahwa di luar sana, tak jauh dari tempat
pembaca terjadi peristiwa memilukan.
Karya-karya Seno yang berani dan rasa simpatinya kepada orang-orang
yang menderita, lalu dikemas dengan gaya posmodern ini seringkali
membuat pembaca mendapatkan akhir cerita yang tak terduga. Selalu ada
yang membekas disetiap karya Seno. Hingga tak berlebihan jika Andy
Fuller, peneliti sastra Indonesia, tertarik dengan karya-karya Seno
dan menggunakannya sebagai obyek penulisan tesis S2 di The University of
Melbourne (2004). Tesis itulah yang kemudian diterbitkan menjadi buku
ini.
Perkenalan Fuller dengan karya-karya Seno tak sengaja. Ketika sedang
berburu buku di Yogyakarta, pandangannya tertuju pada buku berjudul Jazz, Parfum dan Insiden. Semula ia belum tertarik dengan tema insiden atau pembantaian yang diangkat Seno. Tetapi Jazz, Parfum dan Insiden yang menghadirkan
perenungan impresionistis tentang Jazz dan parfum, menjadi magnet bagi
Fuller untuk terus membaca karya-karya Seno selanjutnya.
Ketertarikan Fuller adalah pada tema yang diangkat dalam karya Seno.
Menurut Fuller, Seno melibatkan karya dan dirinya pada masalah-masalah
Indonesia di masa Orde Baru kemudian berperan membangun wacana politik
di masa itu. Seno melalui karyanya telah berusaha membangkitkan dialog
yang kritis, membangun kesadaran diri, untuk kemudian menyelesaikan
krisis politik dan krisis budaya.
Karya Seno yang banyak mendapat sorotan dan perhatian para akademisi adalah Saksi Mata dan Jazz.
Karya ini menuturkan penindasan Orde Baru terhadap rakyat Timor Timur.
Bagi Fuller, meski tokoh-tokoh cerpen Seno itu absurd, tetapi sejatinya
nyata. Ini karena karya-karya Seno selalu mengambil dari peristiwa
nyata.
Kelebihan Seno adalah pada cara dia bercerita. Biarpun memuati
kritisme, cerpen-cerpennya tetap tersaji ringan. Ini menunjukkan betapa
Seno seorang pendongeng yang mahir dalam tehnik dan punya banyak cara
untuk bercerita.
Karya-karya Seno yang selalu mengkritik penguasa bisa jadi
dipengaruhi oleh kegiatan yang ia akrabi. Seno disamping
cerpenis, adalah seorang jurnalis. Karyanya pun tak sebatas cerpen
saja, tetapi juga laporan jurnalistik, puisi, kritik film, juga novel.
Karyanya tersebar di berbagai media dan mendapat sambutan baik di tanah
air.
Namun Seno tak hanya menulis karya-karya yang melulu menghantam
penguasa orde baru. Ada sejumlah cerpen yang bersifat surealis romantis,
seperti cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku. Dan tak jarang
Seno menyajikan karyanya dengan gaya metropolitan bahkan seperti
“keluar” dari sastra. Agaknya Seno tak terlampau memikirkan apakah
karyanya bisa disebut karya sastra atau bukan.
Menurut Fuller, watak dari karya Seno adalah posmodern. Buku ini juga
hendak menyampaikan bagaimana gaya posmodern mampu berkelindan dengan
karya sastra. Buku ini kemudian memberi identifikasi teknik-teknik
estetika posmodern. Teknik-teknik tersebut, menurut Faruk dalam
pengantar buku itu, digunakan untuk menyampaikan pendapat dan sikap
terhadap penguasa Orde Baru yang represif.
Michael Bodden juga mengukuhkan Seno sebagai salah satu cerpenis
bergaya posmodern. Menurut Bodden, tampilnya karya posmodernisme di
Indonesia merupakan usaha untuk menciptakan tulisan baru, sekaligus
merupakan metode perlawanan terhadap menyebarnya manifestasi sosial dan
budaya dari rezim otoriter Presiden Soeharto (Halaman 61). Michael
Bodden juga akademisi yang melakukan penelitian terhadap karya-karya
Seno.
Buku ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama menyajikan seluk
beluk posmodernisme. Bagian kedua mengetengahkan tentang politik
kebudayaan Orde Baru, lalu bagian ketiga adalah tinjauan Karya sastra
Seno. Kemudian bagian empat menyajikan pembahasan tentang metafiksi dan
budaya populer. Sejumlah kesimpulan, yang termaktup di bagian kelima,
menutup buku ini. ***
*
Dianing Widya Yudhistira.
Harian Detik, Minggu 18 Maret 2012.
Dengan segala kehormatan tumah buku langit tumur mengucapkan selamat membaca....