Novel karya Ahmad Tohari, Bekisar Merah ini pernah dimuat di harian
Kompas tahun 1993 yang lalu. Meski sudah lebih dari lima belas tahun
lalu, namun novel ini masih merupakan salah satu novel bagus dari
Tohari, di samping triloginya yang terkenal: Ronggeng Dukuh Paruk,
Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala.
Buku ini mengisahkan tokoh-tokoh yang hidup di desa kecil Karangsoga,
yang kebanyakan penduduknya bekerja sebagai penderes nira kelapa untuk
dibuat gula merah. Karena nafkah utama berasal dari penderesan nira dan
pembuatan gula kelapa saja, maka mayoritas penduduknya hidup dalam
kemiskinan.
Pasangan Darsa dan Lasi (Lasiyah) menjadi tokoh utama dalam
novel ini. Darsa yang penderes, beristerikan Lasi yang cantik dan
berkulit putih, yang mempunyai nilai fisik di atas rata-rata
isteri-isteri para penyadap lain. Ternyata Lasi merupakan keturunan
campuran antara mbok Wiryaji dengan seorang tentara Jepang yang setelah
pernikahannya, tidak pernah kembali ke desa dan hilang tidak tentu
rimbanya kabarnya ditahan Belanda.
Kemiskinan penduduk digambarkan dengan sangat menyentuh oleh Tohari.
Pemahaman kondisi sosial masyarakat miskin, yang erat kaitannya dengan
struktur perdagangan gula yang tidak pernah adil, digambarkan dengan
sangat rinci. Kekuatan lain dari novel-novelnya adalah pemaparan yang
sangat artikulatif tentang alam pedesaan. Pembaca seolah dibawa ke alam
pedesaan hingga dapat merasakan angin sejuk pagi hari yang semilir,
menyaksikan burung jalak yang memberi makan anak-anaknya,
kelentang-kelentung bunyi pongkor (bambu untuk menadah getah nira),
ataupun gemericik sungai Kalirong yang jernih yang airnya mengalir lewat
batu-batu berlumut. Pemahaman tentang masalah sumberdaya alam juga
sangat dalam, misalnya tentang perusakan hutan tutupan oleh penduduk
setempat karena faktor kemiskinan mereka. Tidak ada alternatif untuk
memperoleh keuntungan sedikit lebih, dengan mencuri kayu sebagai bahan
bakar membuat tengguli, bahan gula merah.
Musibah yang sering terjadi di kalangan para penderes nira adalah
jatuh dari pohon kelapa. Demikian juga nasib Darsa. Karena jatuh, yang
dalam kebiasaan masyarakat disebut sebagai kodok melompat (pantang
untuk menyebut jatuh dari pohon kelapa sebagai pengingkaran rasa takut
komunal), Darsa sempat menderita kelainan di sekitar alat
reproduksinya, lemah pucuk.
Dia pun, karena kondisi yang miskin, hanya dirawat oleh
seorang dukun bayi, Bunek. Lasi dengan setia tetap menemani suaminya
meski dalam kondisi lemah dan selalu ngompol. Lama kelamaan, karena
pengobatan intensif yang dilakukan Bunek terutama pada sekitar
selangkangan Darsa, diapun bisa pulih kembali. Pada malam kebangkitan
kembali si Darsa, Bunek minta agar dicobakan pada Sipah, perawan tua
anak Bunek sendiri. Meski mengalami kebimbangan luar biasa karena
pergulatan seru antara nilai-nilai kesetiaan, norma sosial, nafsu
berahi, serta utang budi, akhirnya (dalam keputusan yang lebih banyak
impulsif).
Darsapun memenuhi permintaan Bunek. Sipah pada akhirnya minta
untuk dikawin. Pengkhianatan Darsa membuat jagat kecil Lasi bergoncang
dengan hebat. Dia lalu nekat minggat dari desanya dengan menumpang truk
pengangkut gula, menuju Jakarta.
Cerita lalu banyak membedah batin Lasi. Sebagai perempuan desa yang
cantik yang telah terbiasa hidup dengan segala kemiskinannya selama dua
puluh empat tahun, secara tiba-tiba dihadapkan dengan norma-norma
kehidupan kota besar yang amat sangat asing baginya. Dia yang ditampung
sementara oleh ibu Koneng, pengelola warung tempat para sopir truk
mampir yang juga menjadi tempat berpangkalnya para perempuan pacar
para sopir truk, menyaksikan nilai-nilai sosial yang teramat sulit
dipahami oleh seorang perempuan desa yang sederhana dengan tingkat
pendidikan yang rendah. Misalnya, keintiman lelaki dan perempuan yang
selama ini dipahami sebagai perilaku yang didasari oleh percikan jiwa
dan cinta, di warung itu bisa terjadi dengan begitu gampang, oleh siapa
saja, dengan dasar beberapa lembar uang kertas.
Singkat cerita, Lasi, yang mempunyai kelebihan bentuk tubuh dan wajah
yang indah, menjadi barang dagangan baru yang langka dan sangat
berharga bagi ibu Koneng, yang lalu diserahkan ke Ibu Lanting, mucikari
tingkat tinggi yang melayani para pejabat, dengan imbalan sebentuk
cincin berlian. Para pejabat pemerintah saat itu diceritakan mempunyai
kebiasaan mencari pacar atau isteri kesekian yang mempunyai wajah
mirip orang Jepang. Ini akibat dari perilaku latah birokrat karena
Pemimpin Besar-nya memasukkan seorang geisha ke istana dan akhirnya
menjadi ibu negara. Klop sudah, dengan Lasi. Dia yang mempunyai wajah
seorang perempuan Jepang, menjadi incaran para pejabat. Diapun lalu
ditukar dengan sebuah mobil Mercedes dan beberapa puluh juta rupiah oleh
ibu Lanting kepada Pak Handarbeni, seorang overste purnawira yang
menjadi pejabat, berumur hampir enampuluh lima tahun, gemuk, dan sudah
mempunyai dua isteri. Lasi-pun menjadi seekor
bekisar yang menjadi pajangan di rumahnya yang baru dan mewah di Slipi. Bekisar adalah peranakan ayam hutan dan ayam kampung yang mempunyai keindahan bentuk, bulu, dan kokoknya. Biasanya jenis ayam ini untuk hiasan dalam kandang indah oleh para orang kaya.
bekisar yang menjadi pajangan di rumahnya yang baru dan mewah di Slipi. Bekisar adalah peranakan ayam hutan dan ayam kampung yang mempunyai keindahan bentuk, bulu, dan kokoknya. Biasanya jenis ayam ini untuk hiasan dalam kandang indah oleh para orang kaya.
Lasi, yang akhirnya dikawini Pak Handarbeni (perkawinan main-main
menurut istilah Lasi), menikmati segala kemewahan materi yang tidak
pernah terbayangkan oleh bekas seorang isteri penderes nira dari desa
Karangsoga. Namun di balik segala kemewahan materi, penderitaan batin
Lasipun amat berat. Dia merindukan desanya, emaknya, dan Kanjat, teman
sepermainannya waktu sekolah yang sekarang sudah menjadi mahasiswa dan
hampir lulus. Pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh lama dalam hidupnya
membuat Lasi makin linglung karena berdiri di antara dua nilai
kehidupan yang dipisahkan oleh jurang yang teramat dalam.
Saya selalu menikmati tulisan Tohari, karena keakrabannya dengan alam
pedesaan, dengan penggambaran pergulatan dalam jagat kecil tokoh-tokoh
dalam ceritanya, cengkeraman struktur politik negara yang selalu tidak
adil bagi rakyat kecil, bahkan pemaparan tentang titik nadir terendah
dalam kemiskinan seseorang di mana yang ada hanyalah kepasrahan total.
Tidak ada alternatif. Kemarahan karena perlakuan yang tidak adil dalam
hidup tidak tahu harus ditumpahkan kepada siapa. Kepekaan Tohari dengan
kehidupan masyarakat miskin membuat kita berhenti sejenak. Membuat kita berpikir dan merasakan,
betapa ada jenis kehidupan lain yang berbeda dengan jenis kehidupan
kita. Betapa masih ada jagat dengan seluruh tatanan nilai yang sangat
asing bagi kerangka pikir dan tatanan nilai kita. Namun, tatanan nilai
asing tersebut selalu mampu mengajak kita untuk mengasah lagi pisau
nurani kita yang barangkali telah tumpul oleh kenikmatan materi dalam
hidup sehari-hari. Hidup yang kering dari kesejukan nurani.
Silahkan bagi yang penasaran bisa meminjam di Rumah Buku Langit Timur secara free.
Silahkan bagi yang penasaran bisa meminjam di Rumah Buku Langit Timur secara free.
Ini cover tahun berapa ya? Punya saya covernya beda....
BalasHapusasiik.. :D
BalasHapus